• Kamis, 28 September 2023

Tanggapan Pengamat Sosial Politik Terkait Walkout Anggota DPRD Fraksi Gerindra Ciamis: Cermin Etik Politisi

- Selasa, 6 Juni 2023 | 19:47 WIB
Pengamat sosial politik Ciamis, Endin Lidinillah MAg menyampaikan pandangannya terkait aksi walkout anggota Fraksi Partai Gerindra pada Rapat Paripurna DPRD.*  (Dok.insiden24.com )
Pengamat sosial politik Ciamis, Endin Lidinillah MAg menyampaikan pandangannya terkait aksi walkout anggota Fraksi Partai Gerindra pada Rapat Paripurna DPRD.* (Dok.insiden24.com )
 
 

INSIDEN24.COM
-Terkait aksi walkout anggota Fraksi Partai Gerindra pada Rapat Paripurna DPRD Kabupaten Ciamis, pengamat sosial politik Ciamis Endin Lidinillah MAg memberikan tanggapan. 
 
Aksi walkout anggota Fraksi Partai Gerindra itu terjadi pada Rapat Paripurna DPRD Kabupaten Ciamis, 5 dan 6 Juni 2023 karena keberatan terhadap keberadaan Heri Rafni Kotari (HRK) yang sudah mengundurkan diri dari Partai Gerindra. 
 
HRK bahkan sudah menjadi Bacaleg di partai lain, tetapi masih hadir sebagai pimpinan DPRD dalam Rapat Paripurna tersebut, sehingga dianggap tidak etis dan menjadi alasan anggota Fraksi Partai Gerindra Ciamis walkout
 
Menanggapi aksi itu, pengamat sosial politik Ciamis, Endin Lidinillah MAg menyampaikan pandangannya. 
 
 
Pertama, terkait pencalonan sebagai Bacaleg. 
 
Menurut Endin, ada kelemahan dari PKPU No. 10 Tahun 2023 tentang pencalonan anggota DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota.
 
Di mana hanya mensyaratkan surat pengunduran diri bagi Bakal Calon yang berstatus sebagai anggota Partai Politik Peserta Pemilu yang diwakili pada Pemilu terakhir.
 
Dalam hal berstatus sebagai anggota DPR, DPRD provinsi, atau DPRD kabupaten/kota yang dicalonkan oleh Partai Politik Peserta Pemilu yang berbeda dengan partai politik yang diwakili pada Pemilu terakhir. 
 
 
Endin memandang, seharusnya tidak cukup hanya surat pengunduran diri secara sepihak saja, tetapi perlu disertai surat pemberhentian dari partai lama. 
 
Sehingga tidak akan terjadi seseorang mempunyai dua keanggotaan partai dalam waktu bersamaan. 
 
"Partai baru yang menerima perpindahan yang bersangkutan, seharusnya menunggu keluarnya surat pemberhentian keanggotan yang bersangkutan dari partai lama.
 
Sebelum menerima sebagai anggota partainya dan mengusulkan yang bersangkutan sebagai Bacaleg," tutur Endin kepada insiden24.com, (6/6/2023). 
 
 
Ketentuan pada pasal 11 ayat (2) huruf c PKPU Nomor 10 tahun 2023 itu kontradiktif dengan ketentuan dalam UU No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3).
 
Yaitu terkait pemberhentian anggota DPRD yang mengundurkan diri yang sifatnya tidak sepihak dari bersangkutan semata, tetapi ada keterlibatan partai yang mengusulkan pemberhentian bersangkutan kepada DPRD dengan tembusan kepada Gubernur melalui Bupati/Walikota.
 
Hal tersebut kemudian menimbulkan pertanyaan, mengapa untuk pengunduran diri dari partai sifatnya sepihak dan seketika, tetapi untuk pengunduran diri dari sebagai anggota DPRD tidak sepihak dan menggantungkan pada peran pihak lain sehingga ada tenggang waktu. 
 
 
Menanggapi kontradiksi tersebut, Endin menyarankan KPU RI untuk merevisi PKPU No. 10 tahun 2023 supaya sinkron dengan UU MD3. 
 
Ditambah pada sudut lain, diharapkan politisi tidak mudah pindah partai.
 
Walaupun keanggotaan partai itu sifatnya sukarela, namun diharapkan politisi tidak mudah pindah partai agar marwah partai terjaga dan tidak dijadikan kendaraan untuk kepentingan pragmatis.
 
Kedua, menurut pandangan pengamat sosial politik Ciamis itu, akibat kontradiksi di atas, maka akal sehat publik terganggu.
 
Ketika ada anggota DPRD yang sudah mengundurkan diri dari partainya dan pindah ke partai lain. Serta sudah menjadi Bacaleg partai tersebut, tetapi masih beraktivitas dan seolah-olah mewakili partai lamanya di DPRD. 
 
 
Permasalahan sosiologis ini, menurut Endin, semakin memperkuat bahwa pada landasan sosiologis PKPU No. 10 Tahun 2023 itu ada kelemahan yang seyogyanya perlu diperbaiki. 
 
Ketiga, menurut pandangan Endin, pergulatan antara hukum dan etik memang sudah berlangsung lama.
 
Yaitu, pergulatan mengenai apakah hukum berada di atas etik atau sebaliknya. 
 
Endin berpendapat, pada komunitas masyarakat yang berkebudayaan tinggi, etik dianggap berada di atas hukum.
 
Karena etik menjadi salah satu nilai dan asas dalam penyusunan norma hukum.
 
 
"Jadi walaupun secara hukum tidak ada hal yang dilanggar, tetapi ketika secara etik dipandang tidak pantas, maka etik akan dikedepankan," ujar Endin. 
 
Endin menganalogikan seperti ketika seseorang mengerjakan salat.
 
Walaupun secara hukum aurat laki-laki dalam salat adalah antara pusar dan kedua lutut, namun apakah pantas secara etik menghadap Allah dengan telanjang dada. 
 
"Bagi yang berpegangan hukum di atas etik, maka bisa jadi itu dilakukan. Tetapi tidak bagi yang berpandangan di atas hukum itu ada etik," ungkapnya. 
 
 
Lebih lanjut, Endin mengajak politisi Ciamis untuk berpikir, ingin mencerminkan etik politisi yang seperti apa. 
 
"Pertanyaannya, apakah politisi Ciamis  mau menempatkan etika di atas hukum atau sebaliknya?" pungkas Endin menyoal sisi etik politisi Ciamis
 
Endin menjelaskan, aksi walkout anggota DPRD Fraksi Partai Gerindra Kabupaten Ciamis bisa menjadi cermin etik politisi.***

Editor: Bambang Bu

Tags

Artikel Terkait

Terkini

Wabup Ciamis Ajak Kader NU Jaga Keamanan Pemilu 2024

Sabtu, 16 September 2023 | 13:30 WIB
X